Jumat, 07 Mei 2010

CERITA SEJARAH MINANGKABAU




Kaba Cindua Mato (KCM) adalah karya sastra Minangkabau yang popular, terkenal dalam masyarakat Minangkabau. Sebagai karya sastra yang popular, KCM ini terdapat dalam naskah yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden (van Ronkel, 1921) dan di Perpustakaan Nasional, Jakarta (Juynboll, 1899 dan Sutaarga, 1972) dan diterbitkan dalam beberapa edisi, di antaranya, edisi van der Toorn (1886), Gurun (1904), Saripado (1930), Madjoindo (1964), Endah (1967), Singgih (1972), dan Penghulu (1980); serta pernah digubah dalam bentuk naskah sandiwara oleh Moeis (1924), Penghulu (1955), dan Hadi (1977 dan dalam Esten, 1992).

KCM ini juga telah dibicarakan oleh para ahli, di antaranya oleh Abdullah (1970) berjudul, “Some Notes on the Kaba Cindua Mato: an Example of Minangkabau Traditional Literature”; Esten (1992) membicarakan KCM ini tentang tradisi dan modernitas dalam sandiwara Cindua Mato dalam hubungannya dengan mitos Minangkabau, dan Djamaris (1995) melakukan penelitian perbandingan kepahlawanan Hang Tuah dengan Cindua Mato.

Sesuai dengan judulnya, karya sastra ini tergolong kaba, cerita prosa berirama yang panjang. KCM ini tergolong sastra pahlawan, sastra epos, atau wiracerita, cerita yang mengisahkan perjuangan seorang tokoh cerita untuk mencapai tujuan yang terpuji, membela negeri atau kerajaan Minangkabau.

Dalam KCM ini yang menjadi tokoh pahlawan adalah Cindua Mato, seorang hamba, pembantu utama Kerajaan Pagaruyung, alam Minangkabau.
Kerajaan Pagaruyung yang diperintah oleh seorang ratu yang disebut Bundo Kanduang dan putra mahkotanya, putra Bundo Kanduang, yaitu Dang Tuanku. Bundo Kanduang sebagai ratu, Dang Tuanku sebagai putra mahkota, dan Cindua Mato sebagai pembantu utama adalah tokoh sentral dalam KCM ini, tokoh yang banyak berperan dalam cerita.

KCM ini mengisahkan kebesaran da keagungan Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau. Tema pokok, tujuan perjuangan Cindua Mato adalah mengagungkan Ratu Kerajaan Pagaruyung. Tokoh yang ditonjolkan adalah Bundo Kanduang sebagai ratu dan Dang Tuanku sebagai raja alam Minangkabau, sedangkan Cindua Mato merupakan tokoh yang berfungsi mengukuhkan kebesaran dan keagungan Ratu dan Raja Minangkabau dengan cara membasmi kezaliman dan menegakkan kebenaran. Tema KCM ini adalah Ratu dan Raja Minangkabau adalah Ratu dan Raja yang besar dan agung.

Kerajaan yang besar dan agung tidak mungkin dikalahkan dengan kebohongan dan tipu daya. Raja yang zalim akan celaka, kejahatan akan dibalas dengan kejahatan, tipu daya dibalas dengan tipu daya. Amanat cerita ini adalah, jangan suka menodai, membohongi, dan menipu raja yang baik. Tokoh perempuan, Bundo Kanduang, sangat menonjol dalam KCM ini.

Sebagaimana sudah umum diketahui dalam masyarakat Minangkabau, perempuan sangat dihargai dan dimuliakan. Perempuan disebut dengan istilah Bundo Kanduang dan laki-laki disebut niniak mamak. Garis keturunan dalam masyarakat Minangkabau adalah garis keturunan matrilineal, garis keturunan berdasarkan garis ibu. Harta pusaka, seperti rumah, sawah ladang diwariskan kepada kemenakan perempuan.

Dalam KCM ini, kita akan mengetahui bagaimana citra perempuan, apakah sesuai dengan kedudukannya dalam adat Minangkabau itu yang sangat dimuliakan. Berikut ini akan dibicarakan citra perempuan (Bundo Kanduang) dalam KCM ini.2) Citra Perempuan (Bundo Kanduang) dalam KCM
Bundo Kanduang diceritakan adalah ratu Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau, ratu yang besar dan agung. Keagungannya diketahui dari awal cerita. Ia menjadi raja dengan sendirinya sama terjadinya dengan alam Minangkabau.

Karena ia bukan manusia biasa, tidak diceritakan bagaimana asal-usulnya, siapa ayahnya dan siapa ibunya.
Kebesarannya sama, bahkan lebih dari Raja Rum dan Raja Cina. Dia seketurunan dengan Raja Rum dan Raja Cina itu. Raja Rum dan Raja Cina pernah melamarnya. Lamaran itu disetujui, tetapi sebelum perkawinan dilaksanakan, raja-raja besar itu sudah meninggal karena tidak dapat mengimbangi kesaktian dan kebesaran Bundo Kanduang (Panghulu, 1980:161). Keagungannya juga terungkap melalui perlengkapan istana yang dimilikinya antara lain mahkota Kulah Kamar, kain Sang Seto Sigundam-Gundam, keris Curik si Mundam Giri (Panghulu, 1980:129).

Ia orang yang sakti. Ia mengalami hal-hal yang bersifat supernatural. Ia tidak mempunyai suami, tetapi ia hamil setelah diberi tahu oleh seorang Wali Allah melalui mimpi bahwa ia sedang mengandung seorang anak yang kelak menjadi raja Minangkabau. Ia disuruh minum air kelapa nyiur gading yang sakti. Setelah meminum air kelapa gading itu ia hamil dan kemudian lahirlah anaknya Sutan Rumandung yang bergelar Dang Tuanku, yang kelak menjadi Raja Alam Minangkabau, Daulat yang Dipertuan.

Bundo Kanduang diceritakan sebagai tokoh yang pintar, cerdas, arif bijaksana. Sebagai orang yang cerdas dan pintar, ia mengajar anaknya Dang Tuanku dan mengajari Cindua Mato dalam segala hal, antara lain, tentang adat istiadat, sopan santun dalam masyarakat, dan cara-cara memerintah (Panghulu, 1980: 131, 161-162).

Sebagai orang yang demokratis,, arif, dan bijaksana, ia tidak memutuskan sendiri segala masalah. Ia mengatur dan memberi tugas orang sesuai dengan jabatan dan keahliannya. Dalam pemerintahan ia dibantu oleh beberapa lembaga yang menjadi sarana kelengkapan pemerintahan yaitu lembaga Rajo Duo Selo (Rajo Adat di Buo dan Rajo Ibadat (agama) di Sumpu Kuduih) dan Lembaga Basa Ampek Balai (Dewan Empat Menteri) yaitu Bandaharo di Sungai Tarab, Tuan Kadi di Padang Gantiang, Makhudum di Sumanik, Indomo di Saruaso (Panghulu, 1980:131).

Pengambilan keputusan tidak dilakukannya sendiri, tetapi selalu dibawanya bermusyawarah. Ia selalu berunding dengan pembantu-pembantunya. Keputusan yang telah diambil dalam musyawarah diikutinya walaupun bertentangan dengan keinginannya. Kebijaksanaan Bundo Kanduang terungkap ketika dalam sidang bersama dengan Basa Empek Balai, masalah Cindua Mato yang membawa Puti Bungsu dari negeri Sikalawi ke Pagaruyung diserahkan keputusannya kepada Bundo Kanduang, ia menolak secara bijaksana sebagai berikut.

“Manjawab Dang Tuanku, “Ampun sayo Bundo Kanduang-kicuah-kicang bunyi salahnyo-putuihkan malah hukum nangko.”
Manitah pulo Bundo Kanduang, “Indak denai mamagang adat-indak denai mamagang limbago-hukum syarak jauah sakali-adat pagangan Bandaharo-syarak pagangan Tuan Kadi-bicaro pulang kepadonyo-ikolah samo bahadapan.” (Panghulu, 1980:245).

Terjemahannya

‘Menjawab Dang Tuanku, “Maafkan saya Bundo Kanduang-tipu muslihat macam salahnya-putuskanlah hukuman ini.”
Menitah pula Bundo Kanduang, “Bukan saya ahli adat-bukan saya ahli lembaga-hukum agama jauh sekali-adat dikuasai Bandaharo-syarak dikuasai Tuan Kadi-keputusan dikembalikan kepadanya-sekarang sudah berhadapan.”

Sebagai seorang ratu yang arif bijaksana, ia secara diplomatis memberi petunjuk kepada Basa Ampek Balai bagaimana cara menyambut kedatangan Imbang Jayo, raja Sungai Ngiang, yang sangat marah menuntut Cindua Mato yang telah melarikan Puti Bungsu, sebagaimana terungkap pada kutipan berikut.

“Baruari Bundo Kanduang-manitah ka Basa Ampek Balai,” Jikok datang Imbang Jayo-jan disonsong dengan karih-songsong jo siriah dangan pinang-sonsong jo jamba jo hidangan-lawan jo adaik jo limbago-lawan jo sudi jo siasaik-apo dijapuik diantakan-ingek-ingek tantang itu.” (Panghulu, 1980:262)

Terjemahannya

Adapun Bundo Kanduang-menitah kepada Dewan Empat menteri, “Jika datang Imbang Jayo-jangan disambut dengan keris-sambutlah dengan sirih dan pinang-sambut dengan makanan dan minuman-ajak dengan adat istri-adat-ajak dengan siasat-apa dijemput diantarkan-ingat-ingat tentang hal itu.”
Demikianlah kebesaran dan keagungan Bundo Kanduang. Dari uraian di atas dapat disimpulkan citra Bundo Kanduang sebagai pemimpin di Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau.

Ia adalah Ratu Agung yang memiliki sifat-sifat luar biasa; ia seketurunan dengan raja besar di dunia, yaitu Raja Rum dan Raja Cina, ia memiliki benda-benda yang istimewa, seperti mahkota Kulak Kamar, Kain Sang Seto, dan keris Curak si Pundan Giri; ia adalah seorang yang sakti setelah meminum air kelapa gading yang sakti. Ia pintar, cerdas, arif bijaksana, dan demokratis.

Di
Minangkabau, tiada hikayat atau tambo yang teramat populer selain
Hikayat Cindua Mato. Demikian populernya sehingga dianggap oleh
sebahagian masyarakat kawasan ini sebagai "Sejarah Minangkabau". Lihat
saja, siapa yang tidak kenal Gumarang, yakni nama kuda putih sakti yang
kencang larinya itu atau kerbau besar bertuah bernama Binuang yang
banyak panglimanya atau pun ayam Kinantan yang selalu menang di setiap
gelanggang penyabungan. Bahkan orkes pop Minang terpopuler di negeri
ini pada tahun lima puluhan, mengambil nama kuda sakti itu untuk nama
perkumpulan musiknya, yakni Orkes Gumarang. Sedangkan ayam jago
Kinantan dijadikan julukan klub sepakbola dan diharapkan tidak akan
pernah menyerah di setiap pertandingan serta kerbau besar Binuang yang
dijadikan nama traktor penggusur tanah oleh sopirnya.
Demikian pula nama Bundo Kanduang sudah teramat melekat di hati orang
Minangkabau dan dilambangkan sebagai seorang ibu yang bijaksana.


Belum lagi nama-nama lain seperti puti Bungsu, Puti Lenggogeni, Puti
Linduang Bulan, seterusnya tokoh sentral hikayat itu sendiri, yakni
Cindua Mato.

Daulat Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagar Syah, Raja Alam Pagaruyung

Sutan Abdul Hadis mempunyai delapan orang putera yaitu: Sutan Badrunsyah, Puti Lumuik, Puti Cayo Lauik, Sutan Palangai, Sutan Buyung Hitam, Sutan Karadesa, Sutan M.Suid dan Sutan Abdulah. Puti Mariam mempunyai dua orang putera : Sutan Muhammad Yakub dan Sutan Muhammad Yafas (kemudian menjadi Tuan Makhudum Sumanik) Adik perempuan dari Daulat Sultan Alam Bagagarsyah yaitu Puti Reno Sori yang kemudian dinobatkan menjadi Tuan Gadih Pagaruyung XII menikah dengan saudara sepupunya Daulat Yang Dipertuan Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang Dipertuan Sembahyang II Raja Adat Pagaruyung, mempunyai seorang puteri yaitu Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung XIII.

Puti Reno Saiyah ini menikah dengan Sutan Badrunsyah Penghulu Kepala Nagari Sumanik (putera dari Sutan Abdul Hadis dan cucu dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera empat orang yaitu: Puti Reno Aminah Tuan Gadih Hitam Tuan Gadih Ke XV, Puti Reno Halimah Tuan Gadih Kuniang, Puti Reno Fatimah Tuan Gadih Etek dan Sultan Ibrahim Tuanku Ketek.

Puti Reno Dismah Tuan Gadih Gadang menikah dengan Sutan Muhammad Thaib Datuk Penghulu Besar (ibunya Puti Siti Marad adalah cucu dari Sutan Abdul Hadis dan cicit dari Sultan Alam Bagagarsyah, sedangkan ayahnya Sutan Muhammad Yafas adalah anak dari Puti Mariam dan cucu dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera enam orang: Puti Reno Soraya Thaib, Puti Reno Raudhatuljannah Thaib, Sutan Muhammad Thaib Tuanku Mudo Mangkuto Alam, Puti Reno Yuniarti Thaib, Sutan Muhammad Farid Thaib, Puti Reno Rahimah Thaib. Sutan Usman Tuanku Tuo menikah dengan Rosnidar dari Tiga Batur (cicit dari Sutan Mangun anak Sutan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera delapan orang: Puti Rahmah Usman, Puti Mardiani Usman, Sutan Akmal Usman Khatib Sampono, Sutan M .Ridwan Usman Datuk Sangguno, Sutan Rusdi Usman Khatib Muhammad, Puti Rasyidah Usman, Puti Widya Usman, Sutan Rusman Usman, Puti Sri Darma Usman.

Puti Reno Fatima Zahara menikah dengan Sutan Pingai Datuk Sinaro Patiah Tanjung Barulak (adalah cicit dari Puti Fatimah dan piut dari Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang Dipertuan Sembahyang) mempunyai putera delapan orang: Sutan Indra Warmansyah Tuanku Mudo Mangkuto Alam, Sutan Indra Firmansyah, Sutan Indra Gusmansyah, Puti Reno Endah Juita, Sutan Indra Rusmansyah, Puti Reno Revita, Sutan Nirwansyah Tuan Bujang Bakilap Alam, Sutan Muhammad Yusuf.


Istano Si Linduang Bulan

Rumah Gadang Tuan Gadih Pagaruyung Istano Si Linduang Bulan yang berdiri di Melayu Ujung Kapalo Koto atau di Balai Janggo Pagaruyung kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat adalah rumah pusaka dari Keluarga Besar Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung.

Nama Si Linduang Bulan adalah nama yang diberikan kepada Istana Raja Pagaruyung setelah dipindahkan dari Ulak Tanjuang Bungo ke Balai Janggo pada tahun 1550 oleh Daulat Yang Dipertuan Raja Gamuyang Sultan Bakilap Alam (Sultan Alif Kalifatullah Johan Berdaulat Fil’Alam I) Raja Alam sekaligus memegang jabatan Raja Adat dan Raja Ibadat Pagaruyung, sebagai penanda awalnya perhitungan tahun menurut tarikh Islam, sekaligus berlakunya secara resmi hukum syariat Islam di seluruh kerajaan Pagaruyung menggantikan hukum-hukum yang bersumber dari agama Budha Tantrayana.

Pada tahun 1869 Istano Si Linduang Bulan dibangun lagi oleh Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu kemenakan kandung dari Sultan Tangkal Syariful Alam Bagagar Syah Yang Dipertuan Hitam dan anak dari Yang Dipertuan Gadih Reno Sori dengan Sultan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang (pemegang jabatan Raja Adat, Raja Ibadat dan Raja Alam) setelah Sultan Tangkal Syariful Alam Bagagar Syah Yang Dipertuan Hitam dibuang Belanda Ke Betawi.

Pertama, Istano Si Linduang Bulan, yang berdiri di Balai Janggo Pagaruyung, sebagai istana pengganti dari istana raja yang terbakar, sebagaimana yang dijelaskan di atas. Kedua, Istano Basa, yang mulai dibangun pada tahun 1976 di Padang Siminyak Pagaruyung (letaknya satu kilometer dari Istano Si Linduang Bulan) di atas tanah milik keluarga ahli Waris Raja Pagaruyung yang dipijamkan kepada pemerintah selama bangunan tersebut masih berdiri. Istano Basa didirikan atas biaya sepenuhnya dari pemerintah daerah Sumatera Barat yang berfungsi sebagai musium dan objek kunjungan wisata, sedangkan istano Si Linduang Bulan dibiayai oleh ahli waris dan anak cucu keturunan dari Daulat yang Dipertuan Raja Pagaruyung.

Barisan kedua memanjang bangunan terdapat 12 buah tiang yang disebut Tiang tamban suko mananti, barisan ketiga memanjang bangunan terdapat 12 buah tiang yang disebut Tiang tangah manti salapan, salah satu dari 12 tiang ini disebut Tonggak Tuo atau disebut juga Tiang panjang simajolelo yang terletak di bagian kanan setelah pintu masuk.

Kedua anjuang di ujung kiri dan kanan rumah adalah tempat “Kedudukan Rajo” atau tahta raja, yakni “Rajo Tuo” di Anjuang Emas dan “Tuan Gadih” di Anjuang Perak Ukiran yang membalut Istano Si Linduang Bulan berjumlah lebih dari 200 macam motif ukiran. Hampir seluruh motif ukiran Minangkabau terdapat di Istano Si Linduang Bulan. Ukiran itu mendominasi bentuk luar fisik bangunan yang kaya dengan simbol-simbol. Setiap ukiran dan penempatannya mempunyai makna sendiri-sendiri, sebagai tanda bahwa Istano Si Linduang Bulan adalah rumah gadang raja atau rumah pemimpin rakyat atau sebagai”Pusat Adat”

Rajo Tigo Selo

Rajo Tigo Selo merupakan sebuah institusi tertinggi dalam kerajaan Pagaruyung yang dalam tambo adat disebut Limbago Rajo. Tiga orang raja masing-masing terdiri dari Raja alam, Raja Adat dan Raja Ibadat yang berasal dari satu keturunan. Ketiga raja dalam berbagai tulisan tentang kerajaan Melayu Minangkabau ditafsirkan sebagai satu orang raja.

Raja Adat mempunyai tugas untuk memutuskan hal-hal berkaitan dengan masalah peradatan, dan Raja Ibadat untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut keagamaan, Dalam kaba Cindua Mato kedudukan dan fungsi dari raja-raja ini dijelaskan dalam suatu jalinan peristiwa.

Sedangkan institusi untuk Raja Adat dan Raja Ibadat disebut sebagai Rajo Duo Selo.

1. RAJA ALAM Pucuk pemerintahan kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung mempunyai struktur tersendiri. Kekuasaan pemerintahan dipegang oleh tiga orang raja; Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat. Masing-masing raja mempunyai tugas, kewenangan dan mempunyai daerah kedudukan tersendiri. Raja Alam membawahi Raja Adat dan Raja Ibadat. Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung. Semua penjelasan mengenai kedudukan dan kekuasaan raja-raja tersebut pada dasarnya bertolak dari uraian yang ada di dalam tambo dan pada kaba Cindua Mato, karena kaba Cindua Mato dianggap sebagai tambo Pagaruyung yang dikabakan. Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat ketiganya disebut Rajo Tigo Selo Sedangkan Raja Adat dan Raja Ibadat disebut Rajo Duo Selo Ketiga-tiga raja berasal dari keturunan yang sama.

Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung, Raja Adat berkedudukan di Buo dan Raja Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus. Hal itu berarti bahwa Raja Adat maupun Raja Ibadat tidaklah berasal dari Buo dan Sumpur Kudus, sebagaimana pendapat sebagian orang yang kurang memahami konstelasi dan hubungan antara raja-raja tersebut.

RAJO ADAT Raja Adat yang berkedudukan di Buo adalah salah seorang dari Rajo Duo Selo di samping Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus. Juga menjadi salah seorang dari Rajo Tigo Selo yang dikepalai oleh Raja Alam. Raja Adat berwenang memutuskan perkara-perkara masalah peradatan, apabila pihak Basa Ampek Balai tidak dapat memutuskannya. Apabila ada persoalan adat yang tidak mungkin pula dapat diputuskan oleh Raja Adat, persoalan tersebut dibawa kepada Raja Alam.

RAJO IBADAT Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus adalah salah seorang dari Rajo Duo Selo di samping Raja Adat yang berkedudukan di Buo. Juga menjadi salah seorang dari Rajo Tigo Selo yang dikepalai oleh Raja Alam Raja Ibadat berwenang memutuskan perkara-perkara masalah keagamaan apabila pihak Basa Ampek Balai tidak dapat memutuskannya. Apabila ada masalah-masalah keagamaan yang tidak dapat diputuskan oleh Raja Ibadat, persoalan tersebut dibawa kepada Raja Alam. Raja Alam lah memutuskan segala sesuatu yang tidak dapat diputuskan oleh yang lain. * 4. BASA AMPEK BALAI Dalam struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung, Rajo Tigo Selo atau Raja Tiga Sila, dibantu oleh orang besar atau Basa yang kumpulannya disebut Basa Ampek Balai, empat orang besar yang mempunyai tugas, kewenangan-kewenangan dan tempat kedudukan atau wilayah sendiri pada nagari-nagari yang berada di sekeliling pusat kerajaan, Pagaruyung.

Dalam struktur dan tatanan kerja para pembesar kerajaan dalam kerajaan Pagaruyung tersebut, selain Basa Ampek Balai sebagai pembantu raja, juga dilengkapi dengan seorang pembesar lain yang bertugas sebagai panglima perang yang setara dengan anggota Basa Ampek Balai lainnya, disebut Tuan Gadang berkedudukan di Batipuh dengan julukan Harimau Campo Koto Piliang. Tuan Gadang bukanlah anggota dari Basa Ampek Balai, tetapi setara dengan masing-masing anggota Basa Ampek Balai.

Di dalam kaba Cindua Mato, Basa Ampek Balai mempunyai peranan yang cukup penting dalam menentukan sebuah keputusan yang akan diambil oleh raja Minangkabau. Menurut kaba tersebut, Basa Ampek Balai dapat diangkat dan diberhentikan oleh Bundo Kanduang atau raja Minangkabau. Kekuasaan dan kebesaran mereka semua berkat pemberian dan keizinan Bundo Kanduang. Ketika terjadi tragedi pembunuhan raja-raja Pagaruyung dan para pembesar kerajaan di Koto Tangah dalam masa Perang Paderi, semua Basa Ampek Balai ikut terbunuh. Setelah Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagar Syah raja alam Minangkabau ditawan Belanda dan dibuang ke Betawi pada 1833, Yang Dipertuan Gadis Puti Reno Sumpu sebagai pengganti dan pelanjut Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagar Syah mendandani kembali perangkat kerajaan dengan mengangkat kembali Basa Ampek Balai.

LANGGAM NAN TUJUAH Di dalam sistem pemerintahan kerajaan Pagaruyung, selain adanya institusi raja, yang dikenal dengan sebutan Rajo Tigo Selo dan pembantu-pembantu raja yang dikenal dengan Basa Ampek Balai, di bawah Basa Ampek Balai ada enam orang gadang yang masing-masing juga mempunyai daerah dan kedudukan tersendiri dengan tugas dan kewenangan tersendiri pula.

1 komentar:

Raditya Nugraha mengatakan...

ass.wr.wb. Salam kenal ,Uni..trimakasih atas info nya tentang lembago keadatan dan kepemerintahan di maso zaman kerj.Pagaruyung, tapi kalau bleh meminta,bs kah uni memposting kisah Bundo kanduang,yg agak lbih kuna,yaitu ktika bliau meminum aia kalapo gadiang. .dst dst. .skian dan trima kasih. Wslm